Minggu, 11 Juli 2010

Riya'

Suatu waktu ketika Ustadz Armen memberikan kajian tentang riya’, ada pertanyaan sbb:
“Ustadz, bila di lingkungan kita rata-rata berbicara sering dilakukan perihal hal-hal yang bersifat duniawi, yang condong atau yang cenderung ke arah yang tidak bermanfaat, bagaimanakah sebaiknya sikap kita? Apakah diamnya kita juga bisa disebutkan riya?

Maka Ustadz menjawab sebagai berikut:
Masalah riya’ tidak ada yang tahu. Diri kita dengan Allah yang tahu. Orang tidak bisa menghukumnya. Nah, hal ini sebagusnya tanyakan diri sendiri, kalau seandainya saya berbicara saat ini, kira-kira saya riya atau tidak? Kalau seandainya riya’, diamlah. Kalau seandainya kita merasa berdiam diri kita itu riya’, berbicaralah waktu itu.

Pernah pula seorang pemuda sharing bahwa ia kadangkala khawatir melakukan riya’ jika melakukan perbuatan baik. Maka pemuda tersebut diberi gambaran bahwa perlunya berhati-hati pada sikapnya agar tidak terjebak pada perbuatan riya’. Lalu ditambahkan bahwa selain itu, ia juga perlu berhati-hati apakah memang yakin riya’, karena setan bisa juga memberikan keragu-raguan pada manusia dengan tujuan mencegah manusia untuk berbuat kebaikan.

Akhirnya hanya kepada Allah kita memohon petunjuk dan ampunan.

Kembali ke Keluarga

Ketika menulis ini, seperempat abad sudah aku menjalani kehidupan dunia ini. Belajar dan senantiasa belajar, meskipun terkadang kesulitan datang.

Sejenak aku harus mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam hidupku. Mencoba menggali ingatan yang terpendam karena rutinitas sehari-hari. Masa dimana aku kecil, menjadi bocah, remaja, sampai saat ini. Setiap masa yang pernah aku lalui adalah takdir dari Allah. Peristiwa yang baru, baru dan selalu baru. Dari tiap masa itu, Allah menguatkanku, mendewasakanku. Desain yang menawan. Semoga saya bisa mengoreksi kesalahanku dan memperbaikinya.

“Allah, berikan kemudahan kepadaku untuk menapaki hidup dunia, sampaikanlah aku pada surga-Mu.”

Tersenyum aku mengingat kekonyolan yang pernah ada, bahagia pada pencapaian yang ada, sampai menunduk karena kesalahan-kesalahan yang pernah ada. Saat ini dan setiap waktu, tak lupa aku berterimakasih pada Ibu dan Ayahku yang telah mendidik aku dengan harapan aku menjadi seorang yang siap menghadapi segala perjalanan kehidupan dengan mandiri dan berani. Tak lupa juga pada kakakku yang setia menemaniku sedari kecil dan senantiasa mengingatkanku untuk berdo’a. Kami hanyalah sebuah keluarga sederhana, tapi dengan kesederhanaan itu aku bangga pada keluargaku. Kami juga keluarga yang tidak luput dari kesalahan, semoga Allah memberikan kekuatan dan petunjuk pada kami.

Menjalani kehidupan dengan ikhlas, beribadah dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun. Kalimat tadi menjadi semangatku meskipun aku sedang tak bersama keluargaku. Secara dhohir, saat ini aku memang tidak bisa setiap hari bertemu keluargaku. Meskipun begitu, ada yang selalu kunantikan: saat bertemu Ibu dimana aku bisa memberikan bhaktiku, saat bertemu Ayah dimana aku bisa menenangkan kegalauan yang ada, dan saat bertemu kakakku dimana aku bisa membantu keluarganya. Aku merasakan ketika aku tidak bisa setiap hari memberikan pengabdian bagi keluargaku, keinginanku untuk memberikan yang terbaik semakin bertambah dan bertambah. Ketika kesempatan datang, saat itulah pengabdian yang tersalurkan lebih tinggi dari biasanya.

Saya jadi ingat ketika Juan Roman Riquelme, seorang pesepakbola Argentina memutuskan tidak bermain bola lagi karena keluarganya mendapat ancaman. Riquelme memilih keluarganya dibanding karirnya. Memang, kepentingan keluarga melebihi kepentingan pribadi dan pekerjaan. Keluarga akan ikhlas menerima dan mendukung kita dalam kondisi apapun. Pekerjaan memang wajib, terutama bagi laki-laki untuk menafkahi keluarganya. Selain kesempatan, pekerjaan terkadang soal pilihan. Ada kawan saya yang tidak memilih jadi PNS, ada yang memilih jadi PNS, ada yang tidak memilih jadi pekerja tambang, ada yang keluar dari kontraktor, dll. Mereka tentunya punya pertimbangan sendiri. Semoga kesempatan dan pilihanku saat ini adalah yang terbaik bagi aku dan bagi keluargaku.

Usia manusia senantiasa bertambah, Ayah dan Ibu akan menua, anak-anaknya pun akan membentuk keluarga yang baru hingga ketika mereka menua, anak-anaknya pun membentuk keluarga. Begitu dan begitu sampai dunia berakhir. Ayah dan Ibu mengarahkan anaknya agar memilih pasangan hidup yang cakap. Tidak jarang pengalaman mereka berdua diceritakan pada anaknya agar bisa mengambil pelajaran.
Istikharah. Itulah kunci terakhir yang senantiasa diingatkan Ayah dalam mengambil keputusan. “Setelah melakukan istikharah akan ada bedanya.” Katanya. Dimungkinkan juga setelah istikharah kita tidak merasakan perbedaan/petunjuk. Meskipun begitu, itulah tawakal sehingga Insyaallah kita mendapat ridho-Nya.

Dan seperti saudara muslim lainnya, saya tidak menyangkal kalau sangat mendambakan bisa menyempurnakan separuh agamaku. Menjalani hidup dengan ibadah bersama keluarga kecilku dan keluarga besarku. Dengan istri dan anak-anakku serta Ibu, Ayah, dan kakak-kakakku. Terbayang rasanya jika mampu menjalankan rukun kelima Islam bersama keluarga yang aku pimpin nanti. Akan sangat indah dan sangat bahagia. “Sampaikanlah aku ke Masjidil Haram ya Allah, sampaikanlah. Bersama keluargaku nanti...”

Diselesaikan di Bekasi pada 11 Juli 2010

Rabu, 30 Juni 2010

Pentingnya Ilmu dalam Memahami Islam

Beberapa pemikiran yang berkembang mengklaim sebagai pemikiran yang bisa membawa kebaikan di masa depan. Mereka mencoba mencari jalan tengah antara agama-agama yang ada dengan menggunakan hasil pemikiran segelintir orang. Hal itu sesungguhnya menyiratkan pesan ‘ketidakperluan agama’ dalam hidup ini. Mereka berharap penganut agama tidak merasa paling benar dalam beragama. Mereka menganggap “agama” yang mereka tawarkan lebih berbobot dari agama yang sudah ada sebelumnya.
Tetapi klaim dari mereka menyiratkan arogansi. Merasa paling benar. Itu terbaca dari cara mereka memandang semua agama adalah sama. Hal tersebut menjadikan agama-agama selama ini menjadi sub-ordinat “agama” mereka. Hasil pemikiran mereka dijadikan pedoman hidup mengalahkan pedoman hidup suci dari Allah yang Maha Kuasa.
Salah satu pendapat kelompok tersebut adalah mengatakan bahwa Islam terlalu kaku (Hitam-Putih). Dari kelompok mereka ada yang memandang jilbab adalah budaya arab, tidak wajib bagi muslimah non-arab. Mereka mungkin hanya melihat tekstual perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam kepada Fatimah dengan kacamata kuda, yaitu “perintah Nabi ke Fatimah”.
Kenapa kelompok tersebut berpendapat begitu? Sengajakah mereka membikin hukum baru? Terlepas dari sengaja atau tidak sengaja, pendapat-pendapat mereka sebenarnya jauh dari ilmu. Mereka tidak terlalu paham dengan islam. Mereka meninggalkan pentingnya ilmu. Padahal, kata yang paling banyak dalam Al Qur’an setelah kata “Allah” adalah kata “ilmu” dalam berbagai bentuk. Pemahaman islam akan semakin sulit jika ilmu yang mereka pelajari sedikit.
Sejarah yang merupakan salah satu cabang ilmu, memberi bukti bahwa Islam ditegakkan dengan ilmu. Dengan ilmu itulah pemahaman dapat dilaksanakan dengan penuh kepasrahan. Contoh yang dapat diambil adalah haramnya minuman keras diturunkan dengan berjenjang. Ketika pertama kali Rasulullah menemui masyarakat dengan budaya meminum minuman keras (khamr).
(Al Baqarah 219) Mereka bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.
(An Nisaa’ 43) Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
(AL Maa’idah 90-91) Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Referensi: Syamsi Ali (Imam Masjid New York)

TPA Prayan (edisi anak-anak)


Pada tahun ini, 2010, ketika membereskan dokumen-dokumen lama di rumah, saya menemukan ijazah yang saya dapat dari TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) Prayan sebagai tanda LULUS sebagai santri di TPA tersebut. Hasil scan ijazah tersebut (gambar diatas) sedikit rusak di bagian foto. Maklumlah, sudah berumur hampir 15 tahun (ijazah diperoleh tahun 1995 ketika saya kelas 6 SD). Ijazah ditandatangani Pak Jazuli dan Mas Munar. Beberapa informasi dari ijazah yang saat ini tidak perlu dipublikasikan sengaja saya blok :).
Sejenak saya mengingat-ingat cerita perjalanan saya belajar di TPA Prayan untuk saya tuliskan.
Sebenarnya pertama kali dalam belajar membaca Al Qur’an saya diajari oleh Ayah menggunakan buku iqro’. Hal tersebut terjadi ketika saya masih kecil (sekitar umur 6 tahun). Waktu itu saya setahu saya, iqro’ adalah bagian dari Al Qur’an. Terdiri dari 6 jilid. Sampul dari karton. Ditulis oleh As’ad Humam dan tim AMM Kotagede. Saat saya beranjak besar baru tahu bahwa iqro’ adalah sebuah metode belajar membaca Al Qur’an.
Kembali ke cerita, waktu itu masjid di kampung saya belum serapi sekarang organisasinya (sekarang juga belum rapi-rapi amat sih..), sehingga Ayah memasukkan saya ke TPA Prayan yang terletak di desa sebelah. Jaraknya sekitar 1 km dari rumah saya tempuh dengan sepeda.
Hari pertama masuk ke TPA Prayan, saya sudah membawa Al Qur’an besar berwarna biru. Saat itu saya memang sudah sedikit bisa membaca Al Qur’an hasil didikan Ayah. Ketika TPA dimulai, santri diharuskan tes agar diketahui kemampuan dasar untuk penentuan tingkat kemampuan membaca Al Qur’an. Dengan percaya diri dan penuh harap saya bilang ke penguji waktu itu, Bpk Nurhadi. Saya bilang bahwa saya sudah Al Qur’an. Harapan saya supaya langsung ke tingkat Al Qur’an, tidak perlu belajar Iqro’ lagi. Ternyata keputusan akhir Bpk Nurhadi mengharuskan saya belajar Iqro’ lagi. Kalau tidak salah mulai Jilid 4. Sedikit jengkel juga saat itu. Jengkel ala anak kecil yang hanya dipendam. Saat ini, Bpk Nurhadi adalah Ketua Cabang Muhammadiyah Kecamatan Minggir, senior saya di persyarikatan yang sering kerja bareng. Dan sampai saat ini pula saya tidak pernah menanyakan ke beliau alasan saya dulu diharuskan belajar dari Jilid 4. Saya menerka karena memang bacaan Al Qur’an saya masih belum lancar.
Jaman saya TPA Prayan memang terkenal disamping TPA Suronandan. Anak-anak sebaya di kampung saya banyak yang ke TPA Prayan, sebut saja Saya, Malul, Jati, Sekar, Tio, Tia, dll. Sedangkan teman sebaya di kampung yang ke TPA Suronandan gak banyak. Setahu saya hanya kakak beradik Amir dan Ahmad. Saat kami kecil kami begitu semangat untuk belajar di TPA. TPA tiap Rabu dan Sabtu dimulai dengan Ashar berjama’ah sampai pukul 17.30. Biasanya saya berangkat daru rumah pukul 14.30, ngampiri 3 kakak beradik Malul-Jati-Sekar. Kadang mereka belum mandi, sehingga saya menunggu mereka. Tapi menunggu mereka mandi adalah menuggu yang tidak menjemukan, bahkan kadang selalu dinanti, karena saya menunggu sambil nonton film kartun. Seingat saya nama filmnya Bumpty Boom (mobil yang bisa bicara), dan Speed Racer (balapan).
Banyak ustadz yang saya tahu, Mas Munar, Mbak Murin, Mbak Dewi, Mas Zahrowi, Mas Widodo, Mas Rusi, dll. Dari sekian banyak ustadz yang ada, Mas Zahrowi-lah yang jadi favorit saya. Nggak galak dan enak cara ngajarnya. Saat ini, Mas Zahrowi sesekali juga menjadi rekan kerja bareng di persyarikatan. Beliau dari ranting Sendangsari. Saya dari ranting Sendangrejo. Ketemu di Cabang Minggir. Mas Rusi terkadang juga ketemu, saat ini beliau aktif di Pelatihan Shalat Khusyuk.
Santri TPA Prayan waktu sangat banyak. Membaca majalah Taman Melati, jajan es, main petak umpet, menyanyikan mars dn hymne TPA dari balik Iqro’ adalah kebiasaan santri-santri. Sesekali kami diajari Bahasa Inggris oleh mbak Dewi. Kosakata yang saya ingat adalah ballon, whiteboard, dan blackboard yang diajarkan di ruang TK sebelah mushola.
Syarat lulus dari TPA Prayan salah satunya adalah sudah bisa membaca Al Qur’an dengan kemampuan cukup baik. Pada tahun 1995 saya menjadi salah satu dari wisudawan. Acara wisuda akan digelar di malam hari dengan mengundang wali santri dan beberapa tokoh. Salah satu tokoh yang datang adalah Ibu Sitoresmi. Saat itu, setahu saya Ibu Sitoresmi adalah orang besar dari kota. Hadir sebagai apa saya tidak tahu. Tokoh lain yang datang adalah Bpk Gelael Martono (kalau tidak salah) yang memberikan pengajian. Acara wisuda juga diramaikan dengan opera dan pembacaan puisi. Bagi saya, ikut sebagai pemain dalam opera adalah hal yang membanggakan. Saya akan merasa sangat senang kalau saya bisa ikut memainkan peran dalam opera tentang perjuangan Nabi melawan jahiliyah. Saya mengharap dapat tugas sebagai pemain opera.
Pembagian tugas dimulai. Ada yang baca puisi, opera, dll. Tibalah saatnya saya dikasih kabar. Akhirnya saya dijatah jadi MC bareng Istak. Sedangkan Malul mendapat jatah sebagai pembaca puisi berjudul “Ibu”.Kecewalah saya karena gagal bermain dalam opera.
Panggung megah dibuat di depan rumah Simbah (Ibu Mas Rusi), tepat di depan tembok ruang tamu beliau. Panggung ditutup tirai yang dapat terbuka ke atas jika talinya yang terletak di balik tembok ruang tamu Simbah ditarik.
Hari H datang, acara dimulai malam hari. Saya ingat saat itu saya memakai celana panjang hijau tua merk Freeway yang kata Ibu saya itu adalah celana yang bagus. Pada hari H, ketika saya harus siap menjadi MC, saya masih memendam keinginan yang sangat untuk bisa main opera. Bahkan beberapa menit sebelum acara dimulai pun saya masih ingin main di opera. Ketika acara akan dimulai, saat itu juga keinginan saya harus dikubur. Saya pasrah jadi MC.
Acara pun dimulai. Saya dan Istak segera mengambil posisi berdiri di atas panggung dengan tirai panggung yang masih tertutup. Saat acara dimulai, tirai ditarik naik ke atas sementara kami yang sudah standby di atas panggung disorot lampu yang menerpa wajah kami. Ratusan mata hadirin melihat ke kami dan pertanda acara dimulai adalah ketika pertama kali kami berdua mengucapkan: “Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh..”
Satu persatu acara dimulai, setiap selesai bicara di depan kami segera duduk sebelah panggung. Tibalah saatnya opera tampil. Saat menjelang opera dimulai, Istak meninggalkan saya, katanya mau ikut opera. Wah, saya sendirian. Opera pun dimulai. Beberapa pemain yang ikut antara lain Mardiman sebagai Umar bin Khattab yang memusuhi Nabi tetapi kemudian luluh dengan bacaan Al Qur’an Fatimah yang diperankan Atit. Saat itu Atit memakai pakaian warna putih. Heri dari kampung sebelah berperan sebagai orang yang digantung. Santo teman SD saya ikut dalam gerombolan jahiliyah. Istak entah jadi apa, sepertinya dia cuma ingin rame-rame bersama kaum jahiliyah. Fragmen cerita jahiliyah adalah ketika music ala pesta pora dimainkan, pemain-pemain yang berperan sebagai kaum jahiliyah segera berakting mabuk, main kartu, ngakak-ngakak, dan goyang gak karuan. Santo menyebar kartu ke atas sehingga suasana tampak semakin ramai. Ramai sekali waktu itu, penonton tampaknya sangat terhibur dengan acara itu. Dan saya tidak ikut menghibur mereka…
Entah kenapa saat itu saya merasa kecewa karena mendapat peran MC. Kekecewaan anak kecil yang saat ini alhamdulilah sudah hilang. Terimakasih kepada para pendidik TPA Prayan, semoga ilmunya bermanfaat bagi kita semua.

Selasa, 01 Juni 2010

Minyak Kayu Putih Pulau Buru



Jika mendengar nama Pulau Buru, ingatanku menyajikan pulau tempat pembuangan para Tahanan Politik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) jaman dulu. Tempat membuang orang-orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selain ingatan tersebut, pulau buru juga dikenal sebagai penghasil minyak kayu putih yang bagus. Minyak-minyaknya dikirim sampai ke pelosok Indonesia. Pulau Buru terletak di sebelah barat pulau Ambon, masuk Provinsi Maluku.
Perjalanan dari Pulau Ambon ke Pulau Buru dapat ditempuh menggunakan kapal. Kapal tersebut menghubungkan Pelabuhan Ambon dengan Pelabuhan Namlea. Ada kapal besar seperti KM Elizabeth II, ada pula kapal cepat. Jika naik kapal cepat, penumpang biasanya duduk di kursi yang menghadap depan layaknya naik pesawat. Waktu tempuh kapal cepat lebih sedikit daripada kapal besar. Laju kapal yang menerjang ombak dengan cepat membuat kapal seakan terpental-pental di atas permukaan air. Mirip perlombaan jet air di Dubai yang meluncur di air sambil terpental-pental.
Kalau naik kapal besar (ukuran sekitar 40 x 10 m), laju kapal lebih pelan tetapi tenang. Waktu tempuh dari Ambon ke Namlea dapat ditempuh sekitar 7 jam. Biasanya kapal berangkat malam sekitar jam 9 dan sampai di tujuan pagi sekitar jam 4. Itupun tidak tiap hari. Kalau tidak salah, seminggu dua kali. Kalau naik kelas biasa, dapat tidur di tempat tidur tingkat 2 di lambung kapal. Bagian atas kapal menjadi kamar-kamar kecil untuk kelas eksekutif. Satu kamar terdapat tempat tidur tingkat dua, pelampung, meja, cermin, selimut, dan bantal. Tiap dua kamar yang berdekatan diberi satu AC yang di-share untuk dua kamar. Tiket kelas ini 100 ribu per orang. Dengan kapal yang besar dan tenang, acara tidur pun lancar kalau sudah dia atas kasur. Tahu-tahu sudah sampai. Kapal yang sampai di Namlea pagi hari, akan kembali lagi ke Ambon pada malam harinya.
Kota Namlea masih jarang bangunannya tapi sudah cukup ramai. Sinyal pun ada. Jika mengelilingi Pulau Buru, akan disuguhi pemandangan pantai yang bersih dan bukit beserta sabana dan stepa. Jika sampai di Waspait, ada rest area beserta rumah makan dan perkebunan yang sangat terawat.
Kata penduduk setempat minyak kayu putih dibuat dari daun kayu putih yang disuling. Jika daunnya basah terkena hujan, akan menghasilkan minyak yang jelek kalau disuling. Pohon kayu putih di pulau ini memang banyak. Beberapa tumbuh liar. Kalau musim kemarau, antar batang pohon yang bergesekan karena tertiup angin bisa menimbulkan api. Meskipun terjadi kebakaran, pohon kayu putih bisa tumbuh lagi secara alami.
Kalau mau belanja minyak kayu putih, bisa langsung ke rumah penduduk setempat yang menyuling minyak. Kemasannya juga bagus. Harga minyak ukuran botol bir sedang berkisar 40 ribu. Kata penjualnya, minyak yang dibuatnya tidak dicampur bahan lain sehingga bisa diminum sedikit untuk menghangatkan perut kalau masuk angin.

Rabu, 26 Mei 2010

Arema Juara ISL 2009-2010

Akhirnya, Arema juara. Mantab. Selamat buat para Aremania.

Jumat, 16 April 2010

Sahabat yang Sederhana


Pertama kali aku memperhatikan dirinya adalah ketika kami ada jadwal kuliah di lantai 3 pojok timur kampus kami yang tercinta. Ketika dosen belum datang, kami bercanda di luar kelas. Aku memperhatikan gaya dan penampilan anak ini. Memakai topi warna putih bergambar kartun. Sedikit pendiam tetapi santai. Agak berbeda dari teman-teman baruku yang lain. Kami berkenalan. Dia menyebut namanya yang singkat dan jelas.
Seiring berjalannya waktu, kami menjadi bagian dari persahabatan yang erat di teknik sipil. Semester awal dia mulai terlihat senang menggeluti ilmu-ilmu agama. Kajian-kajian yang cukup marak di lingkungan teknik sepertinya menjadi kesempatan tak ternilai harganya. Dia menjadi salah satu kekuatan penyeimbang di geng kami agar tidak terjerumus ke arah maksiat.
Kosnya yang pertama, di dekat penjual lotek. Sederhana. Menggambarkan sosok dirinya. Aku cukup nyaman bermain di kosnya yang pertama. Dari balik jendelanya terjulur sebuah kabel ground menuju tanah di depan kamarnya. Kakaknya juga kos di dekat situ. Setelah sekian lama, dia pindah kos.
Kosnya yang kedua agak turun kontur-nya. Kalau tidak salah biaya pertahun hanya 700 ribu. Kos termurah di kanan kiri kampus, setahuku.
Kadang kuliah di kampus tidak berurutan. Kadang pagi ada kuliah, siang tak ada, sore ada lagi. Jika ada jeda kuliah yang agak lama, aku yang rumahnya jauh, sering main ke kos sobat geng. Salah satunya kosnya dia. Kos inipun bagi geng kami cukup familiar. Jika mau lama mainnya, motor dibawa ke pinggir kamar dengan menuruni turunan lalu belok kiri. Jika mau main tidak lama, motor di parkir di atas (di sebelah utara sumur) lalu turun jalan kaki lewat tangga. Kadang-kadang ada anjing orang yang berdiam di tangga tersebut.
Dari kos itu, jika mau sholat, berjalan ke selatan lalu belok kiri dan belok kanan menyelinap diantara deretan rumah. Jika mau ditinggal sholat ke masjid, komputer sengaja dihidupkan dan dimainkan mp3-nya. Kadang kajiannya syaikh Utsaimin. Katanya, player sengaja dihidupkan agar orang lain mengira kamar itu ada orangnya. Kamar mandi letaknya di belakang. Kunci kamarnya diletakkan di sembunyikan di paku yang menancap dudukan tower air depan kamar mandi.
Aku dan dia satu kelompok tugas PBTS sehingga sering menghabiskan siang dan malam di kos tersebut. Jika siang, makan yang murah ada di kantin slemania. Jika malam ada di nasi goreng timur jalan yang termurah. 2.000 rupiah dapat nasi goreng. Abin sampai membawa mini componya agar bisa lembur sampai pagi. Jika pengin ngopi, tinggal colokkan heater. Jika tidur, satu bed untuk rama-ramai. Kipas angin menjadi teman setia pengusir panas. Banyak cerita tersaji di situ, mulai dari nembak senior kelas yang luput sampai rencana hidup yang lain. Kos kedua ini lebih bersejarah daripada yang pertama.
Dia sekarang kerja di sebuah BUMN. Pemuda yang dulu ngangeni itu masih tetep ngangeni. Impian menyempurnakan setengah diennya juga telah terlaksana kemarin 14 Maret 2010. Tulisan ini dibuat untuk sedikit mengenang masa bujangan saudara, sobat, dan teman perjuangan bernama Amin yang telah tehenti kemarin. Sekaligus sebagai ucapan pernikahan kedua mempelai. Selamat menempuh hidup baru buat Mas Amin dan Mbak Indah. Teriring doa semoga berdua bahagia dan ukhuwah dengan kami tetap terjaga.
Afwan jika ada yang salah dan tidak berkenan...

Jumat, 05 Maret 2010

Pelajaran I

Suatu waktu Abdullah bin Mubarok mengkritik Imam Malik ketika menurutnya jihad di jalan Allah lebih Afdhol:
"Wahai Imam, ketahuilah...
Sangat jauh antara tangisan engkau sholat di Masjid Nabawi
dg darah yang mengalir ketika kami berjihad di jalan Allah
Sangat jauh tinta yang engkau goreskan di dalam ilmu
dengan darah yang kami teteskan di medan perang."

di jawab Imam Malik:
"kilan ala khair
Wahai kawan,sesungguhnya engkau dan saya dalam kebaikan
ala khairin
Jika seandainya engkau menaklukkan negara-negara dan kota-kota dengan pedangmu
maka saya akan menaklukkan manusia dengan ilmuku."