Minggu, 11 Juli 2010

Riya'

Suatu waktu ketika Ustadz Armen memberikan kajian tentang riya’, ada pertanyaan sbb:
“Ustadz, bila di lingkungan kita rata-rata berbicara sering dilakukan perihal hal-hal yang bersifat duniawi, yang condong atau yang cenderung ke arah yang tidak bermanfaat, bagaimanakah sebaiknya sikap kita? Apakah diamnya kita juga bisa disebutkan riya?

Maka Ustadz menjawab sebagai berikut:
Masalah riya’ tidak ada yang tahu. Diri kita dengan Allah yang tahu. Orang tidak bisa menghukumnya. Nah, hal ini sebagusnya tanyakan diri sendiri, kalau seandainya saya berbicara saat ini, kira-kira saya riya atau tidak? Kalau seandainya riya’, diamlah. Kalau seandainya kita merasa berdiam diri kita itu riya’, berbicaralah waktu itu.

Pernah pula seorang pemuda sharing bahwa ia kadangkala khawatir melakukan riya’ jika melakukan perbuatan baik. Maka pemuda tersebut diberi gambaran bahwa perlunya berhati-hati pada sikapnya agar tidak terjebak pada perbuatan riya’. Lalu ditambahkan bahwa selain itu, ia juga perlu berhati-hati apakah memang yakin riya’, karena setan bisa juga memberikan keragu-raguan pada manusia dengan tujuan mencegah manusia untuk berbuat kebaikan.

Akhirnya hanya kepada Allah kita memohon petunjuk dan ampunan.

Kembali ke Keluarga

Ketika menulis ini, seperempat abad sudah aku menjalani kehidupan dunia ini. Belajar dan senantiasa belajar, meskipun terkadang kesulitan datang.

Sejenak aku harus mengingat peristiwa-peristiwa penting dalam hidupku. Mencoba menggali ingatan yang terpendam karena rutinitas sehari-hari. Masa dimana aku kecil, menjadi bocah, remaja, sampai saat ini. Setiap masa yang pernah aku lalui adalah takdir dari Allah. Peristiwa yang baru, baru dan selalu baru. Dari tiap masa itu, Allah menguatkanku, mendewasakanku. Desain yang menawan. Semoga saya bisa mengoreksi kesalahanku dan memperbaikinya.

“Allah, berikan kemudahan kepadaku untuk menapaki hidup dunia, sampaikanlah aku pada surga-Mu.”

Tersenyum aku mengingat kekonyolan yang pernah ada, bahagia pada pencapaian yang ada, sampai menunduk karena kesalahan-kesalahan yang pernah ada. Saat ini dan setiap waktu, tak lupa aku berterimakasih pada Ibu dan Ayahku yang telah mendidik aku dengan harapan aku menjadi seorang yang siap menghadapi segala perjalanan kehidupan dengan mandiri dan berani. Tak lupa juga pada kakakku yang setia menemaniku sedari kecil dan senantiasa mengingatkanku untuk berdo’a. Kami hanyalah sebuah keluarga sederhana, tapi dengan kesederhanaan itu aku bangga pada keluargaku. Kami juga keluarga yang tidak luput dari kesalahan, semoga Allah memberikan kekuatan dan petunjuk pada kami.

Menjalani kehidupan dengan ikhlas, beribadah dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun. Kalimat tadi menjadi semangatku meskipun aku sedang tak bersama keluargaku. Secara dhohir, saat ini aku memang tidak bisa setiap hari bertemu keluargaku. Meskipun begitu, ada yang selalu kunantikan: saat bertemu Ibu dimana aku bisa memberikan bhaktiku, saat bertemu Ayah dimana aku bisa menenangkan kegalauan yang ada, dan saat bertemu kakakku dimana aku bisa membantu keluarganya. Aku merasakan ketika aku tidak bisa setiap hari memberikan pengabdian bagi keluargaku, keinginanku untuk memberikan yang terbaik semakin bertambah dan bertambah. Ketika kesempatan datang, saat itulah pengabdian yang tersalurkan lebih tinggi dari biasanya.

Saya jadi ingat ketika Juan Roman Riquelme, seorang pesepakbola Argentina memutuskan tidak bermain bola lagi karena keluarganya mendapat ancaman. Riquelme memilih keluarganya dibanding karirnya. Memang, kepentingan keluarga melebihi kepentingan pribadi dan pekerjaan. Keluarga akan ikhlas menerima dan mendukung kita dalam kondisi apapun. Pekerjaan memang wajib, terutama bagi laki-laki untuk menafkahi keluarganya. Selain kesempatan, pekerjaan terkadang soal pilihan. Ada kawan saya yang tidak memilih jadi PNS, ada yang memilih jadi PNS, ada yang tidak memilih jadi pekerja tambang, ada yang keluar dari kontraktor, dll. Mereka tentunya punya pertimbangan sendiri. Semoga kesempatan dan pilihanku saat ini adalah yang terbaik bagi aku dan bagi keluargaku.

Usia manusia senantiasa bertambah, Ayah dan Ibu akan menua, anak-anaknya pun akan membentuk keluarga yang baru hingga ketika mereka menua, anak-anaknya pun membentuk keluarga. Begitu dan begitu sampai dunia berakhir. Ayah dan Ibu mengarahkan anaknya agar memilih pasangan hidup yang cakap. Tidak jarang pengalaman mereka berdua diceritakan pada anaknya agar bisa mengambil pelajaran.
Istikharah. Itulah kunci terakhir yang senantiasa diingatkan Ayah dalam mengambil keputusan. “Setelah melakukan istikharah akan ada bedanya.” Katanya. Dimungkinkan juga setelah istikharah kita tidak merasakan perbedaan/petunjuk. Meskipun begitu, itulah tawakal sehingga Insyaallah kita mendapat ridho-Nya.

Dan seperti saudara muslim lainnya, saya tidak menyangkal kalau sangat mendambakan bisa menyempurnakan separuh agamaku. Menjalani hidup dengan ibadah bersama keluarga kecilku dan keluarga besarku. Dengan istri dan anak-anakku serta Ibu, Ayah, dan kakak-kakakku. Terbayang rasanya jika mampu menjalankan rukun kelima Islam bersama keluarga yang aku pimpin nanti. Akan sangat indah dan sangat bahagia. “Sampaikanlah aku ke Masjidil Haram ya Allah, sampaikanlah. Bersama keluargaku nanti...”

Diselesaikan di Bekasi pada 11 Juli 2010